Welcome Back...

>> Jumat, 11 April 2014

tes....

Read more...

Sebuah Kampung Bernama Lembanna

>> Selasa, 11 September 2012



Lima cahaya lampu motor menembus kegelapan kota bunga Malino di sebuah malam yang dingin, sejenak kami menyeruput segelas kopi hitam di sebuah warung pinggir jalan yang harganya tak murah.....
Kami berada di sini, tepatnya perkampungan Lembanna, sekitar 2 kilo arah utara Malino. Perkampungan yang merupakan entri point para pendaki yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng (2800mdpl). Kami sedang melakukan survey lokasi wisata edelweis yang akan dilaksanakan akhir bulan ini (baca: September 2011).
Tak banyak yang berubah dari perkampunag ini secara fisik. Yang mencolok hanya jalanan kampung yang dulunya hanya pengerasan kini telah menjelma menjadi aspal yang mulus. Rumah-rumah yang ada hanya mengalami perbaikan seadanya kecuali memang ada beberapa rumah yang sudah berstatus permanen. Yang nampak beda juga hanyalah papan nama yang menempel pada masing-masing rumah penduduk. Bentuknya seragam. Dengan dasar warna hijau dengan tulisan warna putih. Kami pikir, ini palingan kerjaan anak KKN. Sebuah warung bakso dan mi pangsit juga telah ada.
Tidak banyak memang perubahan yang kami amati, namun dalam hati kami pasti dengan pembangunan jalan ada banyak perubahan yang terjadi yang tidak mampu kami amati hanya dalam waktu tak lebih dari sehari. Perubahan itu menyangkut kebiasaan sosial yang ada. Dengan adanya jalan segala sesuatu akan mudah terakses. Pag-pagi sekali, tidak biasanya mobil sejenis Avanza mondar-mandir di jalan Lembanna. Biasanya hanya mobil pete-pete/angkot atau truk pengangkut sayur. Yang jelas kami pikir kondisi berubah akan nampak lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Lebih cepat bisa jadi.
Terlepas dari semua itu, menurut kami perkampungan ini masih menyimpan pesona kesejukan yang menentramkan pikiran. walaupun pagi-pagi tak ada kicau burung, lantunan simfoni angin makin menenggelamkan kami kedalam sarung kami yang makin pagi makin terasa “hangat”. Pagi ini sedikit bergerimis. Dan itu terasa makin menggoda untuk memejamkan pikiran lebih dalam. Mencari posisi badan yang paling pas dalam balutan sarung. Namun kami harus bangun dan melaksanakan tugas kami.
Berjalan sejenak, hamparan perkebunan khas daerah pegunungan telah menyuguhkan pemandangan natural yang hanya biasa dibayangkan. Para petani memetik tomat yang ranum dalam kondisi yang masih berembun. Baling-baling air yang menyemprot tanaman nampak juga berlenggak-lenggok mengiring senyum petani. Ah... Tomat-tomat ini pernah kubeli dengan harga seribu per biji di Makassar. Suara bulir-bulir air pegunungan yang mengalir dengan derasnya makin menggodaku berlama-lama disini dan menghirup sebanyak-banyaknya udara yang tidak mungkin kami temui di Makassar. (E.078)

Read more...

Untuk Sebotol Air Es

>> Jumat, 24 Agustus 2012


Dulu saya sekolah di sebuah madrasah Muhammadiah setingkat sekolah dasar. Setiap hari saya tempuh dengan berjalan kaki sekitar satu kilo. Jadi total dua kilo sehari. Kadang-kadang berangkatnya ikut sama bapak yang juga berangkat mengajar. Bapakku adalah seorang kepala sekolah waktu itu di sebuah madrasah tsanawiah setingkat SLTP. Saya memiliki seorang teman. Setiap hari pulang sama-sama. Pada waktu itu teman saya ini termasuk orang yang berada dan apa yang dia punya selalu selangkah lebih awal dibanding dengan apa yang sudah berkembang di kampung saya waktu itu. Salah satunya adalah lemari es. Pada saat itu Masih bisa dihitung jari orang yang memiliki lemari es atau biasa kami sebut kulkas. Rumahku dengan rumah temanku ini hanya sekitar 200 meter alias berjalan lima menit saja sudah sampai rumah. Namun hampir setiap hari saya singgah dirumahnya hanya untuk sebotol air es segar.

Read more...

  © Blogger templates Inspiration by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP