Sebuah Kampung Bernama Lembanna
>> Selasa, 11 September 2012
Lima cahaya lampu motor menembus kegelapan kota bunga Malino
di sebuah malam yang dingin, sejenak kami menyeruput segelas kopi hitam di
sebuah warung pinggir jalan yang harganya tak murah.....
Kami berada di sini, tepatnya perkampungan Lembanna, sekitar
2 kilo arah utara Malino. Perkampungan yang merupakan entri point para pendaki
yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng (2800mdpl). Kami sedang melakukan survey
lokasi wisata edelweis yang akan dilaksanakan akhir bulan ini (baca: September
2011).
Tak banyak yang berubah dari perkampunag ini secara fisik.
Yang mencolok hanya jalanan kampung yang dulunya hanya pengerasan kini telah
menjelma menjadi aspal yang mulus. Rumah-rumah yang ada hanya mengalami
perbaikan seadanya kecuali memang ada beberapa rumah yang sudah berstatus
permanen. Yang nampak beda juga hanyalah papan nama yang menempel pada
masing-masing rumah penduduk. Bentuknya seragam. Dengan dasar warna hijau
dengan tulisan warna putih. Kami pikir, ini palingan kerjaan anak KKN. Sebuah
warung bakso dan mi pangsit juga telah ada.
Tidak banyak memang perubahan yang kami amati, namun dalam
hati kami pasti dengan pembangunan jalan ada banyak perubahan yang terjadi yang
tidak mampu kami amati hanya dalam waktu tak lebih dari sehari. Perubahan itu
menyangkut kebiasaan sosial yang ada. Dengan adanya jalan segala sesuatu akan
mudah terakses. Pag-pagi sekali, tidak biasanya mobil sejenis Avanza
mondar-mandir di jalan Lembanna. Biasanya hanya mobil pete-pete/angkot atau
truk pengangkut sayur. Yang jelas kami pikir kondisi berubah akan nampak lima
atau sepuluh tahun yang akan datang. Lebih cepat bisa jadi.
Terlepas dari semua itu, menurut kami perkampungan ini masih
menyimpan pesona kesejukan yang menentramkan pikiran. walaupun pagi-pagi tak
ada kicau burung, lantunan simfoni angin makin menenggelamkan kami kedalam sarung
kami yang makin pagi makin terasa “hangat”. Pagi ini sedikit bergerimis. Dan
itu terasa makin menggoda untuk memejamkan pikiran lebih dalam. Mencari posisi
badan yang paling pas dalam balutan sarung. Namun kami harus bangun dan
melaksanakan tugas kami.
Berjalan sejenak, hamparan perkebunan khas daerah pegunungan
telah menyuguhkan pemandangan natural yang hanya biasa dibayangkan. Para petani
memetik tomat yang ranum dalam kondisi yang masih berembun. Baling-baling air
yang menyemprot tanaman nampak juga berlenggak-lenggok mengiring senyum petani.
Ah... Tomat-tomat ini pernah kubeli dengan harga seribu per biji di Makassar. Suara
bulir-bulir air pegunungan yang mengalir dengan derasnya makin menggodaku
berlama-lama disini dan menghirup sebanyak-banyaknya udara yang tidak mungkin
kami temui di Makassar. (E.078)
0 komentar:
Posting Komentar